Secara harfiah, hutan dan lingkungan memiliki arti yang berbeda, namun secara makna dan fungsi keduanya memiliki keterikatan yang erat. Hutan identik dengan lanskap dan sumber daya alam hayati (biotik; flora dan fauna) yang didominasi oleh pepohonan, sementara lingkungan mencakup segala hal penting yang ada dalam suatu ekosistem mulai dari biotik, abiotik, hingga kehidupan sosial budaya manusianya. Berdasarkan hal tersebut dapat kita pahami bahwa hutan merupakan bagian dari tatanan lingkungan berupa ekosistem yang penting untuk menunjang kehidupan liar flora dan fauna. Bahkan, tidak jarang di tengah-tengah hutan terdapat pemukiman masyarakat tradisional yang kental akan adat dan kebudayaannya. Masyarakat bersama dengan makhluk hidup lain bersama-sama memanfaatkan segala sumber daya penting yang ada di lingkungan sekitar mereka. Oleh karena itu demi mewujudkan lingkungan yang baik serta berkelanjutan untuk menjamin kualitas kehidupan yang ada di dalam dan sekitarnya, dibutuhkan komponen lingkungan yang mampu menampung semuanya, salah satu komponen tersebut adalah hutan.
Hutan yang sehat akan memberikan berbagai manfaat bagi lingkungan, mulai dari pasokan udara segar, ketersediaan air bersih, perlindungan terhadap erosi, penyedia hasil hutan kayu dan bukan kayu, bahkan hutan dapat menjadi tempat meningkatkan kemampuan dan kekebalan tubuh manusia melalui program forest healing. Tidak kalah penting, hutan yang sehat juga mampu menyerap karbon dioksida (CO2) dari atmosfer secara maksimal untuk menjaga kestabilan iklim mikro di sekitar hutan maupun iklim makro secara nasional dan internasional. Mangold (1997) menjelaskan bahwa salah satu indikator penting untuk menentukan kesehatan hutan adalah tingkat kerusakan yang terjadi pada vegetasi pohon penyusun hutan. Kerusakan pada pohon dapat terjadi secara alami yang disebabkan patogen, serangga pengganggu, atau usia pohon yang sudah tidak produktif, dan dapat terjadi karena aktivitas manusia yang berlebihan, contohnya eksploitasi sumber daya hutan seperti penebangan ilegal, konversi lahan, hingga kegiatan pertambangan ilegal.
Negara yang sektor lingkungannya didominasi oleh hutan adalah Indonesia, dengan dua per tiga daratan Indonesia merupakan area berhutan, baik kawasan hutan maupun bukan kawasan hutan. Hal ini menjadikan hutan sebagai salah satu objek yang diatur oleh negara dalam perundang-undangan demi pengelolaan yang maksimal, yakni pada UU Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Meskipun menjadi sumber daya yang sentral, laju pengurangan tutupan hutan di Indonesia juga berjalan cepat akibat hilangnya vegetasi pohon (deforestasi). Fenomena ini membawa kabar bahwa hutan di Indonesia tidak baik-baik saja dan perlu dilakukan revitalisasi dan perbaikan. Efek dari hutan yang tidak sehat dan tidak dapat menjalankan fungsinya secara maksimal mulai berdampak pada kehidupan saat ini, seperti suhu yang lebih panas dari biasanya, anomali cuaca, hingga perubahan musim panen petani yang tidak menentu sehingga mengancam mata pencaharian.
Kesehatan hutan Indonesia yang semakin terjun bebas ini dapat menyebabkan dampak yang lebih parah lagi pada tahun 2023 dengan prediksi datangnya fenomena El Nino, dimana Indonesia akan mengalami musim kemarau dengan tingkat kekeringan yang lebih tinggi dari biasanya. Apabila tidak diimbangi dengan kesehatan hutan yang mumpuni karena fungsinya untuk tata kelola air, El Nino akan menimbulkan efek yang luar biasa, mulai dari gangguan ketersediaan bahan makanan, krisis air bersih, gangguan ekosistem akibat hilangnya keanekaragaman hayati, hingga munculnya konflik-konflik sosial terhadap akses sumber daya alam yang mulai terbatas.
Waktu memang tidak bisa diputar kembali, namun bukan berarti semuanya harus diterima tanpa melakukan aksi nyata untuk masa depan yang lebih baik, rusaknya hutan tidak boleh diulang oleh generasi yang akan datang. Oleh karena itu, pemerintah bersama dengan semua elemen yang ada harus berupaya melakukan perbaikan lingkungan untuk meningkatkan kesehatan hutan, salah satunya melakukan perbaikan ekosistem hutan dengan cara menanam kembali pohon-pohon pada kawasan yang mengalami kerusakan vegetasi atau biasa disebut restorasi hutan. Upaya ini bukan semata dilakukan pada hutan lindung yang rusak karena aktivitas ilegal, namun juga pada hutan produksi yang dibebani izin kelola berusaha agar pemilik izin dituntut berkomitmen mengembalikan tutupan hutan seperti sedia kala saat izinnya selesai.
Selain memberikan dampak ekologis yang jelas, apabila dilakukan dengan konsep yang tepat, restorasi juga memberikan dampak signifikan terhadap kehidupan sosial dan perekonomian komunitas yang ada di sekitarnya. Memberdayakan masyarakat sebagai pelaku utama restorasi dapat membangun hubungan yang baik antara pemerintah dengan masyarakat, sehingga lebih mudah untuk menyadarkan masyarakat akan pentingnya lingkungan yang sehat bagi kehidupan manusia. Agar dapat berkontribusi bagi perekonomian, restorasi dapat dilakukan dengan sistem agroforestri, yakni mengintegrasikan pohon dari tanaman kehutanan yang dapat memberikan manfaat bagi petani baik berupa kayu, buah, getah, dan hasil hutan lain. Misalnya menanam durian, jengkol, dan petai yang dapat menghasilkan buah ketika musim panen tiba. Apabila restorasi dilakukan bersama pemerintah seperti perhutanan sosial, masyarakat yang aktif tentu dapat dibukakan peluang perekonomian yang lebih luas, seperti adanya pembayaran jasa penyerapan karbon dioksida dari pohon-pohon yang telah dibudidayakan. Hal ini tentu dapat menguatkan keyakinan masyarakat bahwa hutan benar-benar berkontribusi bagi kehidupan bukan hanya dari sisi ekologis namun juga ekonomi. Sehingga semangat masyarakat untuk menanam dan menjaga pohon semakin maksimal.
Secara khusus, kesehatan hutan di Indonesia sudah selayaknya mendapatkan perhatian lebih, apalagi sebagai negara megabiodiversity yang menyimpan berbagai kekayaan dan keunikan atraksi keanekaragaman hayati di dalamnya. Tidak perlu aksi yang besar dan menggemparkan, cukup aksi yang konsisten, berkelanjutan, dan terarah sebagai bagian dari usaha perbaikan lingkungan untuk kehidupan yang lebih baik di masa depan. Aksi yang mewujudkan komitmen bangsa dalam menekan angka deforestasi, mewujudkan hutan yang berperan mengatasi perubahan iklim, dan menjadikan hutan sebagai salah satu komponen yang berkontribusi bagi kesejahteraan hidup orang banyak. Bukan sebaliknya, membiarkan kerusakan yang telah terjadi tanpa ada upaya memperbaiki, hingga menimbulkan dampak negatif di kemudian hari. Meskipun saat ini kita merasakan kemajuan teknologi yang luar biasa dengan kecerdasan buatan yang beredar dimana-mana, tetap saja hal tersebut tidak dapat berperan secara sentral dalam upaya perbaikan lingkungan khususnya penanaman pohon, semua itu hanya alat pendukung bagi pelaku utamanya, yaitu manusia.
Referensi:
Mangold R. 1997. Forest health monitoring: Field Methods Guide. USA: USDA Forest Service.
Penulis : Syahlan Faluthi