Sebanyak 59% ruang hidup masyarakat Provinsi Aceh merupakan kawasan hutan yang dikenal masyarakat dengan sebutan “Leuser”, terdiri dari Kawasan Strategis Nasional (KSN) dan Kawasan Konservasi, hal ini merujuk pada data yang dikeluarkan oleh BPS Provinsi Aceh tahun 2017. Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) merupakan KSN yang terdapat di Aceh, terdiri dari hutan lindung dan hutan produksi di dalamnya, selain itu di dalam KEL juga terdapat Kawasan Konservasi yang saling terintegrasi, yakni Cagar Alam Serbajadi, Suaka Margasatwa Rawa Singkil, dan tentunya yang paling tersohor yakni Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL). Sebagai seperangkat hutan, Leuser menjadi salah satu aset berharga yang dimiliki Provinsi Aceh, baik dari segi keanekaragaman hayati, konstruksi adat dan budaya masyarakat, hingga jasa lingkungannya, seperti pemasok air bersih dan penyedia udara bersih.
Meskipun berharga, Leuser sangat identik dengan permasalahan lingkungan yang ada di Aceh. Masalah lingkungan yang kerap terjadi adalah konflik masyarakat dengan satwa liar dan kebencanaan khususnya banjir yang melanda setiap tahun. Tutupan hutan yang semakin berkurang, berimplikasi terhadap hilangnya rumah satwa liar penghuni Leuser. Secara khusus, Leuser menjadi satu-satunya kawasan di muka bumi yang ditinggali empat megafauna dilindungi Pulau Sumatera secara bersama-sama, yaitu Harimau Sumatera, Badak Sumatera, Gajah Sumatera, dan Orangutan Sumatera. Beberapa satwa dilindungi tersebut sering berkonflik dengan masyarakat sekitar hutan, tercatat semenjak Januari 2023 hingga April 2023 saja, telah terjadi 7 kali konflik antara masyarakat dengan satwa. Konflik dengan harimau terjadi sebanyak 4 kali, masing-masing 2 konflik di Kabupaten Aceh Selatan dan Kabupaten Aceh Timur, sisanya ada sebanyak 3 kali konflik dengan gajah yang berlokasi di Kabupaten Kabupaten Bener Meriah, Kabupaten Pidie, dan Kabupaten Aceh Jaya.
Sementara itu, dari segi bencana alam akibat berkurangnya tutupan hutan, Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA) melalui media Mongabay membeberkan sepanjang tahun 2022 telah terjadi sebanyak 100 bencana alam berupa banjir, dan empat diantaranya adalah banjir bandang. Banjir ini sering melanda daerah-daerah dengan kawasan hutan yang berada dalam kondisi tidak baik-baik saja sehingga menyebabkan kemampuan hutan dalam tata kelola air menjadi menurun. Bahkan, pada tahun 2022 banjir melanda hingga menutup akses darat untuk masuk dan keluar Provinsi Aceh selama beberapa hari. Daerah-daerah yang sering dilanda banjir tersebut adalah Aceh Utara, Aceh Tamiang, Aceh Selatan, Aceh Timur, dan Aceh Tenggara yang faktanya daerah-daerah tersebut bersinggungan langsung dengan Leuser. Lokasi yang terindikasi berkonflik dengan satwa dan sering dilanda bencana alam tersebut, beberapa diantaranya juga terindikasi kehilangan tutupan hutan yang cukup signifikan. dari Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA) melalui Mongabay menerangkan bahwa sepanjang tahun 2022 Aceh Selatan menduduki peringkat pertama sebagai kabupaten yang kehilangan tutupan hutan (1883 Ha), Aceh Timur berada di peringkat ketiga (753 Ha), disusul Aceh Utara peringkat keempat (666 Ha).
Fenomena hilangnya tutupan hutan terjadi karena adanya kegiatan ilegal kehutanan, salah satunya penebangan liar yang dilakukan oleh masyarakat secara tradisional untuk menunjang kehidupannya. Terutama untuk memenuhi permintaan pasar akan bahan baku kayu yang terus meningkat, sehingga menyebabkan pohon-pohon sebagai struktur hutan alam yang berada di Leuser rentan menjadi sasaran penebangan. Oleh karena itu, untuk menunjang kebutuhan akan kayu di Aceh, perlu adanya prinsip budidaya secara berkelanjutan yang diterapkan bersama masyarakat. Tentu saja bukan sembarangan, seyogyanya kegiatan ini dilakukan pada lokasi tertentu dengan mempertimbangkan berbagai resiko yang ada, contohnya melakukan budidaya kayu di hutan produksi secara tumpang sari, sehingga selama masa tunggu panen kayu masyarakat dapat mengandalkan pemasukan lain untuk kebutuhan sehari-harinya. Program ini dapat dilakukan melalui kelompok koperasi dan akan lebih baik lagi apabila kelompok tersebut diberikan sertifikasi keberlanjutan agar mendapat hasil yang lebih optimal. Mengapa harus berbasis masyarakat? Karena masyarakat merupakan pemain kunci untuk mewujudkan kelestarian di tingkat tapak, juga untuk membantu masyarakat Aceh yang masih banyak tergolong dalam kategori miskin. Hal ini terlihat dari posisi Aceh sebagai provinsi termiskin di Sumatera dan masuk 10 besar di Indonesia. Aceh harus mempersiapkan masyarakatnya agar mampu bangkit dan keluar dari belenggu tersebut, salah satunya melalui pemanfaatan sumber daya alam (SDA) di lingkungan sekitar secara lestari. Sesuai dengan komitmen Indonesia untuk memenuhi mandat Sustainable Development Goals (SDGs) poin 1 sampai 5 perihal peningkatan kesejahteraan masyarakat yang merata dari segi materil, kesehatan, hingga pendidikan.
Organization for Economic Cooperation and Development menjelaskan bahwa pada tahun 2045 Indonesia diproyeksi akan mendapat bonus demografi atau jumlah penduduk berusia produktif (15 – 60 tahun) akan mendominasi dengan persentase 64%. Sehingga peningkatan jumlah penduduk juga menjadi ancaman bagi kawasan hutan apabila tidak dikelola dengan baik. Sebab bertambahnya penduduk mengindikasikan peningkatan kebutuhan akan lahan. Ketersediaan lahan kelola yang semakin minim di Aceh, menyisakan kawasan hutan sebagai pilihan terakhir, baik sebagai tempat tinggal ataupun lahan budidaya tradisional. Sepanjang sisa waktu 22 tahun, Aceh harus optimis dan serius menginisiasi perencanaan pemetaan wilayah melalui Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan Rencana Pembangunan Daerah (RPD) untuk pembangunan daerah yang terintegrasi dengan prinsip keberlanjutan dan ramah lingkungan. Sesuai dengan poin SDGs ke-11 terkait ketersediaan kota dan pemukiman yang berkelanjutan.
Penggunaan SDA di Leuser ini tentu menjadi salah satu hal yang mesti mendapatkan perhatian khusus dan serius, bukan hanya dari pemerintah, namun juga praktisi, akademisi, hingga generasi muda. Harus dilakukan upaya kolektif pengelolaan kawasan hutan yang berkeadilan dan berkelanjutan untuk mengurangi dampak negatif lingkungan dalam jangka panjang, seperti adanya bencana alam dan konflik dengan hidupan liar di sekitar Leuser pada masa yang akan datang. Selain itu, ikhtiar mengusahakan pengelolaan SDA yang baik juga menjadi bagian dari membantu Indonesia untuk mewujudkan SDGs, dimana pembangunan harus dapat sinkron dengan usaha meningkatkan kesejahteraan sosial dan penyelamatan lingkungan untuk merespon fenomena krisis iklim. Selain mandat SDGs, salah seorang Wali Nanggroe (pemimpin dari raja-raja dan keturunannya di Provinsi Aceh), Dr. Teungku M. Hasan Di Tiro M.S., M.A., LL.D., Ph.D berpesan untuk selalu memperhatikan kelestarian Leuser sebagai warisan bagi generasi kini dan nanti, pesan tersebut berbunyi:
“Peuselamat uteun Aceh sebab uteun nyan nakeuh salah saboh pusaka keuneubah indatu yang akan tapulang ke aneuk cuco geutanyoe di masa ukeue (Selamatkan hutan Aceh sebab hutan tersebut adalah salah satu pusaka leluhur yang akan kita kembalikan kepada anak cucu di masa depan).”
Syahlan Faluthi – Provinsi Aceh