Projects

Perdagangan Karbon dalam Kerangka NDC dan Peluang Ekonomi

Kawasan Industri di Jakarta

Perdagangan Karbon dan NDC

Kementerian Keuangan Republik Indonesia menyatakan bahwa Indonesia membutuhkan dana sebesar US$4,4 triliun untuk mencapai target perubahan iklim sesuai NDC (Nationally Determined Contribution) di tahun 2030[1]. Di dalam peta jalan NDC, sekitar US$ 294,97 miliar dibutuhkan untuk implementasi aksi mitigasi[2] dan sekitar US$77,81 miliar dibutuhkan untuk implementasi aksi adaptasi[3]. Kebutuhan dana tersebut hampir dua kali lebih besar dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) di tahun 2022 (Rp3.106,4 triliun[4]). Dengan kondisi tersebut, pemerintah telah membangun strategi untuk menggunakan sumber pendanaan dalam negeri (APBN, swasta), luar negeri (bilateral, multilateral), dan investasi nasional3 untuk memenuhi kebutuhan pendanaan iklim tersebut.

Dalam lima tahun terakhir, alokasi belanja untuk perubahan iklim dalam APBN selalu menurun setiap tahunnya. Alokasi pendanaan yang sebesar 6% di tahun 2018, menjadi hanya 2,8%[5] di tahun 2020 yang diakibatkan terutama dari kondisi pandemi. Kondisi ini menggambarkan besarnya resiko yang dapat terjadi jika pendanaan iklim hanya mengandalkan pada APBN. Diferensiasi sumber pendanaan melalui instrumen pembiayaan inovatif, akses pendanaan global, dan investasi swasta menjadi tidak terelakkan. Salah satu sumber pendanaan potensial adalah investasi swasta melalui Perdagangan Karbon.

Perdagangan Karbon adalah mekanisme berbasis pasar untuk mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) melalui kegiatan jual beli Unit Karbon yang berbentuk sertifikat (seperti SPE-GRK, VCU, PVC) dan tercatat dalam Sistem Registri Nasional Pengendalian Perubahan Iklim[6]. Kegiatan jual beli Unit Karbon dilakukan melalui bursa karbon dan/atau perdagangan langsung6 yang melibatkan pihak penghasil sertifikat karbon dan pihak pembeli sertifikat karbon. Penghasil sertifikat karbon adalah pelaku usaha yang terbukti menurunkan emisi GRK, dengan memenuhi standard karbon yang berlaku (seperti ICER, VERRA, Plan Vivo), dan telah lulus proses validasi dan verifikasi oleh pihak ketiga yang berwenang (lembaga sertifikasi yang terakreditasi). Pembeli sertifikat karbon adalah pelaku (individu, korporasi, pemerintah) yang membeli sejumlah sertifikat karbon, sebagai bagian dari offset emisi GRK dan/atau pemenuhan komitmen pelaku tersebut dalam pengurangan dampak perubahan iklim.

Di Indonesia, harga beli sertifikat karbon ditetapkan lebih tinggi atau sama dengan harga karbon di pasar karbon. Pemerintah Indonesia telah menetapkan harga minimum sebesar Rp30.000 per ton CO2e[7] sebagai pajak karbon yang dimulai dari PLTU Batubara pada tahun 2025[8]. Pada pasar karbon sukarela global, harga karbon berada pada rentang Rp41.400 dan Rp251.100 per ton CO2e (kurs 15.000 per US$) dari sektor lahan (AFOLU) di sepanjang tahun 2022[9]. Jika target penurunan emisi sebesar 912 juta ton CO2e[10] seluruhnya masuk ke dalam mekanisme perdagangan karbon, maka hingga tahun 2030, besarnya transaksi Perdagangan Karbon di Indonesia berkisar di antara 37 triliun dan 229 trilliun rupiah (menggunakan harga karbon pasar global), atau sekitar 27 triliun (menggunakan harga pajak karbon). Hal ini masih jauh dibawah kebutuhan biaya yang tertulis dalam peta jalan NDC yang membutuhkan biaya lebih besar dari total APBN Indonesia.

Geliat Pasar Karbon

Sebanyak 98 negara di dunia telah menggunakan mekanisme berbasis pasar dalam pencapaian NDC mereka, ditambah 134 negara lain yang telah berkomitmen untuk menggunakan mekanisme berbasis pasar di dalam NDC mereka. Secara garis besar, terdapat dua mekanisme Perdagangan Karbon berbasis pasar di dunia yaitu Pasar Karbon Wajib dan Pasar Karbon Sukarela.

Pasar karbon wajib diatur oleh peraturan perundangan pemerintah, dan dibuat untuk memenuhi target penurunan emisi. Pada pasar karbon wajib, emiter karbon harus mengurangi emisi mereka atau membayar kelebihan emisi mereka. Di negara Eropa, dengan banyaknya industri yang berkomitmen untuk mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK), perdagangan karbon dalam pasar wajib terjadi dengan harga yang relatif tinggi. Pasar karbon wajib yang terbesar di dunia saat ini adalah European Union Emissions Trading System (EU ETS) yang praktis menjadi acuan bagi pasar karbon di seluruh dunia. Di sepanjang tahun 2022, harga karbon terendah di EU ETS untuk setiap sertifikat karbon (ton CO2e) adalah EUR58,5 (Maret 2022) dan tertinggi adalah EUR98,7 (Agustus 2022) dengan harga saat ini (Desember 2023) adalah EUR82,9[11]. Di Indonesia, pasar karbon ini telah diinisiasi berdasarkan peraturan perundangan yang telah dibentuk, dan ditargetkan pasar karbon ini akan beroperasi di tahun 20258.

Selain pasar karbon wajib, terdapat pasar karbon sukarela yang diinisiasi oleh pelaku yang bukan berasal dari pemerintah (non-pemerintah) dan menghasilkan sertifikat karbon untuk pihak yang secara sukarela melakukan aktifitas penurunan emisi. Meskipun demikian, pasar karbon sukarela ini dapat menjadi bagian dari skema pasar yang diatur (regulated market) seperti pajak karbon atau ETS, jika pembuat kebijakan memberi opsi alternatif pada emiter karbon untuk memenuhi kewajiban penurunan emisi mereka, dengan membeli sertifikat karbon dari pasar karbon sukarela. Kebijakan di Indonesia sudah memfasilitasi opsi alternatif tersebut, dimana emiter karbon dapat melakukan perdagangan karbon melalui perdagangan offset (pasar karbon sukarela) dan bukan hanya perdagangan emisi (pasar karbon wajib) baik dengan pihak di dalam negeri maupun di luar negeri. Kondisi kebijakan seperti ini mendorong geliat ekonomi dari perdagangan karbon.[12]

Hingga saat ini, sedikitnya lima proyek karbon yang masuk pasar sukarela telah melakukan perdagangan karbon di Indonesia dengan sekitar 14 juta ton CO2e sertifikat karbon dari VCS setiap tahunnya. Jumlah tersebut bertambah pesat dengan banyaknya proyek yang sudah terdaftar dalam pipeline VCS, serta tren peningkatan pembeli dan investor internasional yang ingin membeli karbon dan berinvestasi dalam mengembangkan proyek karbon di Indonesia. Dalam sektor kehutanan saja, kebijakan pemerintah dalam multi-usaha kehutanan dapat memudahkan transformasi perusahaan yang awalnya bisnis penebangan hutan menjadi bisnis perlindungan hutan yang dapat menghasilkan sertifikat karbon. Dengan total luas 19,42 juta hektar kawasan hutan yang berizin, Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) mengestimasi potensi Unit Karbon sebesar 120 juta tCO2e pertahun dari kawasan yang dikelola sektor swasta. Unit Karbon tersebut dapat menghasilkan pendapatan dari perdagangan karbon sebesar 4 – 30 triliun rupiah setiap tahunnya. Estimasi pendapatan tersebut diluar nilai investasi yang dapat masuk ke Indonesia untuk membantu sektor swasta dalam mentransformasi bisnisnya.

Peluang Ekonomi Karbon

Dengan semakin mendukungnya peraturan perundangan di Indonesia, peluang ekonomi dari perdagangan karbon di Indonesia semakin jelas. Pemerintah diharapkan dapat segera mengeluarkan segala peraturan turunan (termasuk petunjuk teknis) tentang perdagangan karbon. Hal ini akan meningkatkan peluang bagi banyak pihak yang terkait dengan Perdagangan Karbon, sehingga dapat meningkatkan devisa dari investasi luar negeri, maupun peningkatan pendapatan dari sektor swasta dalam negeri. Salah satu contoh perusahaan kehutanan yang telah ikut dalam perdagangan karbon adalah PT Rimba Raya Conservation (RRC). PT RRC telah masuk ke dalam pasar karbon sukarela sejak tahun 2011[13] dan sertifikat unit karbon sebesar 3,5 juta tCO2e per tahun sejak tahun 2009, dengan pembeli utama dari pasar internasional. Saat ini, PT RRC juga menjadi proyek pertama yang lolos validasi dan verifikasi sesuai dengan Peraturan Menteri Kehutanan No 21 tahun 2022[14]. Kondisi ini menunjukkan bahwa Perdagangan Karbon telah terjadi di Indonesia, terutama dari sektor kehutanan.

Melihat pada kondisi peraturan perundangan dan kebijakan pemerintah yang mendukung nilai ekonomi karbon, harga karbon pasar domestik dan internasional yang meningkat stabil, permintaan sertifikat karbon yang tinggi, serta tren peningkatan investasi di sektor perubahan iklim, maka tahun 2023 diprediksi akan menjadi tahun yang menjanjikan untuk memulai atau meningkatkan bisnis Perdagangan Karbon di Indonesia. Beberapa hal yang perlu menjadi perhatian adalah ketersediaan sumber daya manusia yang mumpuni untuk membangun proyek karbon, proses perizinan yang mulus dengan pemerintah, negosiasi harga dan investasi yang adil untuk pengembang proyek karbon dengan investor dan/atau pembeli sertifikat karbon, serta pembagian manfaat yang dapat dirasakan masyarakat secara langsung.

 

[1] https://fiskal.kemenkeu.go.id/nda_gcf/berita/indonesia-membutuhkan-us4-4t-untuk-mencapai-target-perubahan-iklim

[2] Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim (2019). Buku Road Map NDC Mitigasi, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

[3] KLHK. (2020). Roadmap Nationally Determined Contribution (NDC) Adaptasi Perubahan Iklim. Jakarta (ID): Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia.

[4] https://www.menpan.go.id/site/berita-terkini/berita-daerah/realisasi-sementara-belanja-negara-capai-rp2-376-triliun

[5] Center for Climate Finance and Multilateral Policy (2021). Indonesia’s GCF Country Programme Document. The Fiscal Policy Agency

[6] Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No 21 Tahun 2022 tentang Tata Laksana Penerapan Nilai Ekonomi Karbon.

[7] Undang-undang Republik Indonesia No. 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan

[8] https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20221013114052-532-860011/airlangga-sebut-perdagangan-dan-pajak-karbon-berlaku-mulai-2025

[9] https://www.barchart.com/futures/quotes/GIZ22/interactive-chart

[10] KLHK. (2022). Enhanced Nationally Determined Contribution (NDC) Republic of Indonesia. Jakarta (ID): Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia.

[11] https://carboncredits.com/carbon-prices-today/

[12] https://economics.rabobank.com/publications/2021/march/can-voluntary-carbon-markets-change-the-game-for-climate-change/#:~:text=Voluntary%20carbon%20markets%20are%20often,or%20pay%20for%20the%20surplus

[13] https://registry.verra.org/app/projectDetail/VCS/674

[14] https://www.businesswire.com/news/home/20221228005410/en/Carbon-Streaming-Provides-Update-on-Rimba-Raya-Project

 

Figure 1. Potensi sumber pendanaan perubahan iklim di Indonesia (disadur dari KLHK, 2020).

 

Figure 2. Proporsi pembiayaan perubahan iklim terhadap alokasi APBN (disadur dari BKF, 2021).

 

Figure 3. Harga karbon di pasar sukarela global CBL Nature-Based Global Emissions Offset (N-GEO) futures dari sektor agrikultur, kehutanan, dan penggunaan lahan lainnya (AFOLU).

 

Figure 4. Harga karbon di pasar wajib EU ETS.

 

 

 

 

Joseph Hutabarat/ CBDO Gaia Indonesia