Blog

Wallacea: Pertemuan Antara Asia dan Australia

Indonesia ada suatu daerah yang menjadi pertemuan antara benua Asia dan benua Australia. Daerah tersebut berada dibagian tengah Indonesia, meliputi Sulawesi, Kepulauan Maluku, dan Kepulauan Nusa Tenggara. Pertemuan tersebut sering dikenal sebagai Wallacea. Area ini dipisahkan oleh dua garis imajiner yaitu, Garis Wallace di sebelah barat (diperbarui oleh garis Huxley) dan Garis Lydekker di sebelah timur. Garis Wallace membentang dari Samudra Hindia melalui Selat Lombok (antara pulau Bali dan Lombok), ke utara melalui Selat Makassar (antara Kalimantan dan Sulawesi), dan ke timur, selatan Mindanao, ke Laut Filipina. Sedangkan garis Lydekker membentang dari Samudera Pasifik melalui sebelah timur Kepulauan Maluku. 

Proses pembentukan yang terjadi jutaan tahun lalu membuat area Wallacea sebagai laboratorium alam untuk studi evolusi dan keanekaragaman hayati. Wallacea diambil dari nama seorang naturalis berkebangsaan Inggris, Alfred Russel Wallace (1823-1913). Dalam perjalanannya selama delapan tahun di Kepulauan Nusantara, Wallace menemukan adanya perbedaan antara fauna yang ada di sebelah barat dan di sebelah timur dari Kepulauan Nusantara. Ini yang akan menjadi salah satu dasar dalam pengembangan ilmu evolusi bersama dengan temuan-temuan dari Charles Darwin setelah kembali dari pelayaran keliling dunia dengan Kapal HMS Beagle.  

Alfred Russel Wallace menghabiskan delapan tahun di Kepulauan Nusantara, sejak tahun 1854 sampai dengan tahun 1862, dengan mengumpulkan spesimen biologis untuk penelitiannya sendiri dan untuk dijual. Wallace menulis sejumlah artikel ilmiah yang sebagian besar terkait bidang zoologi (ilmu tentang hewan). Pada masa itu, sumber dana eksplorasi yang digunakan peneliti seperti Wallace salah satunya berasal dari penjualan spesimen. Wallace kembali ke Inggris pada tahun 1862 sebagai ilmuwan alam dan ahli geografi yang mapan serta membawa lebih dari 125.000 spesimen hewan. Hasil temuannya tersebut menjadi dasar pengembangan ilmu evolusi dan biogeografi. 

Wallacea adalah salah satu pusat endemisme terbesar di dunia.  Lokasi geografis yang kompleks dan banyak batas alami menyebabkan keanekaragaman hayati yang tinggi di kawasan ini. Sekitar, 98% spesies mamalia non-terbang, 34% spesies burung, dan 26% spesies reptile merupakan spesies endemik yang hanya ditemukan di area Wallacea 1–3 

Beberapa fauna endemik yang hanya ditemui di area Wallacea antara lain anoa pegunungan (Bubalus quarlesi), Kuskus Beruang (Ailurops ursinus), Monyet Tonkean (Macaca tonkeana), dan beberapa spesies tarsius seperti Tarsius Lariang tarsier (Tarsius lariang). Sebagian besar mamalia Sulawesi berasal dari Asia, kecuali marsupial phalangerid (kelompok kuskus) dan kelelawar yang berasal dari Australian atau Pacific 4,5. 

Tingginya nilai keanekaragaman hayati dan kondisi lingkungan di area Wallacea tidak menurunkan tingkat ancaman terhadap daerah tersebut. Di area Wallacea seperti Sulawesi dan kepulauan sekitarnya ancaman utama terharap keanekaragaman hayati dan lingkungan berasal dari perubahan fungsi lahan. Perubahan fungsi ekosistem dari kawasan hutan menjadi kawasan non-hutan seperti area pertanian dan pertambangan merupakan ancaman utama hilangnya ekosistem dan keanekaragaman hayati yang khas dari area Wallacea.  

Perubahan tutupan lahan juga akan mempercepat dampak perubahan iklim. Situasi ini dapat menjadi lebih buruk jika tidak adanya inisiatif untuk pembangunan yang lebih berkelanjutan di bidang pengelolaan lahan pertanian dan pertambangan. Eksploitasi berlebihan terhadap ekosistem alami di Wallacea, akan memberikan dampak besar yang lebih terhadap lingkungan 6,7. Di sisi lain, potensi pendapatan dari mata pencaharian yang ada saat ini seringkali tidak mencukupi, sehingga membuat beberapa area Wallacea termasuk yang dalam kategori termiskin di Indonesia. Kemiskinan akan menjadi pendorong utama penggunaan sumber daya alam yang tidak berkelanjutan di Wallacea, hal ini harus ditangani secara langsung.  

Menerapkan perencanaan penggunaan lahan yang optimal dengan melibatkan masyarakat dapat meminimalkan dampak ekologis. Salah satunya adalah dengan menggunakan Nilai Konservasi Tinggi atau High Conservation Value (www.hcvnetwork.org) untuk menentukan area-area yang dapat dioptimalkan dan mana area yang perlu dilindungi. Penggunaan HCV Screening Guide merupakan salah satu cara yang lebih efektif untuk meminimalkan dampak pembangunan dan memaksimalkan manfaat yang ada. Pelibatan masyarakat pada tahap pemantauan juga diperlukan untuk membantu mengidentifikasi praktik manajemen terbaik sesuai kondisi masyarakat setempat.  

Salah satu upaya pelibatan masyarakat dapat melalui skema perhutanan sosial dalam mengelola kawasan hutan. Kolaborasi dengan masyarakat dalam pemanfaatan kawasan Hutan Desa, Hutan Adat, dan Hutan Kemasyarakatan dapat menjadi upaya melibatkan dan memberdayakan pengetahuan terkait pengelolaan kawasan hutan yang lebih berkelanjutan di Area Wallacea. Kolaborasi ini sudah banyak dilaksanakan di area lain di Indonesia seperti di Kalimantan dan Sumatera. Kolaborasi yang baik dalam pengelolaan kawasan hutan dengan masyarakat dapat berkorelasai positif terhadap kondisi hutan dan tingkat kemiskinan pada masyarakat sekitar hutan8. 

1. Whitten, T., Henderson, G. G. & Mustofa, M. The Ecology of Sulawesi. (Tuttle Publishing, Singapaore, 2002). 

2. Frantz, L. A. F. et al. Synchronous diversification of sulawesi’s iconic artiodactyls driven by recent geological events. Proceedings of the Royal Society B: Biological Sciences 285, (2018). 

3. Hall, R. The palaeogeography of Sundaland and Wallacea since the Late Jurassic. J Limnol 72, (2013). 

4. Raterman, D., Meredith, R. W., Ruedas, L. A. & Springer, M. S. Phylogenetic relationships of the cuscuses and brushtail possums (Marsupialia:Phalangeridae) using the nuclear gene BRCA1. Aust J Zool 54, 353–361 (2006). 

5. Almeida, F. C., Giannini, N. P., Simmons, N. B. & Helgen, K. M. Each flying fox on its own branch: A phylogenetic tree for Pteropus and related genera (Chiroptera: Pteropodidae). Mol Phylogenet Evol (2014) doi:10.1016/j.ympev.2014.03.009. 

6. Voigt, M. et al. Emerging threats from deforestation and forest fragmentation in the Wallacea centre of endemism. Environmental Research Letters 16, 094048 (2021). 

7. Waltert, M. et al. Assessing Conservation Values: Biodiversity and Endemicity in Tropical Land Use Systems. PLoS One 6, e16238 (2011). 

8. Santika, T. et al. Heterogeneous impacts of community forestry on forest conservation and poverty alleviation: Evidence from Indonesia. People and Nature 1, 204–219 (2019). 

 

Achmad Alifianto I Biodiversity Specialis Gaia Indonesia

Latest Article

Social Links