Perempuan memiliki peran dan tanggung jawab dalam memenuhi kebutuhan domestik rumah tangga, termasuk dalam mengelola ketersediaan pangan. Ketersediaan sumber pangan yang didapat dari hutan, pinggir sungai, atau pesisir laut sebelumnya mudah didapat, kini tidak lagi sama. Perubahan iklim seperti cuaca yang tidak menentu menjadi salah satu faktor dan harus membutuhkan waktu lebih lama untuk mendapatkan kebutuhan domestik. Dalam perjalanan kegiatan survei ke Papua Selatan, penulis bertemu dengan seorang petani perempuan yang setiap harinya berperan dalam memenuhi kebutuhan makan dan minum untuk keluarga. Ibu ini harus pergi ke hutan untuk mencari pohon sagu sebagai sumber makanannya. “Totok sagu” biasa masyarakat setempat menyebutnya yang diolah selama kurang lebih satu hingga dua minggu sebelum bisa dikonsumsi. Tidak hanya itu, untuk memenuhi kebutuhan protein terkadang pergi ke sungai untuk mencari ikan mulai dari pagi hingga siang dan diolah setelah sampai di rumah. Peran laki-laki sebagian besar berperan mencari komoditas untuk bisa dijual dan menghasilkan uang. Dan aktivitas tersebut tidak setiap hari tersedia, karena tergantung dengan sumber komoditasnya. Sementara, peran perempuan jauh lebih berat, karena tugasnya setiap hari harus menyediakan makan untuk keluarga.
Perubahan iklim merupakan salah satu yang memicu ketidakpastian cuaca yang memberi dampak pada ketersediaan pangan, termasuk di wilayah Seram Bagian Timur. Gagal panen akibat pergeseran musim yang terjadi memberi dampak akan ancaman terhadap ketersediaan pangan. Sementara terkait isu ketahanan pangan lokal terus disuarakan dan menjadi bagian dari solusi kunci strategi adaptasi perubahan iklim. Perempuan tidak hanya sebagai penyitas, namun juga pejuang yang berperan dalam upaya memenuhi kebutuhan domestik rumah tangga. Perempuan di desa menjadi ujung tombak dan penggerak inisiatif dalam pengelolaan pangan secara mandiri, terlibat dalam sebuah kebijakan, serta menjaga pengetahuan lokal secara turun temurun yang dirawat sejak lama dalam komunitas masyarakat.
Ketahanan pangan memiliki peran penting dalam upaya mengurangi dampak perubahan iklim yang saat ini juga menjadi perhatian dunia. Wilayah Indonesia bagian timur tepatnya di Negeri Belis, Kabupaten Seram Bagian Timur (SBT) terdapat sebuah demplot atau lahan percontohan penyuluhan sektor pertanian dalam upaya menjaga ketahanan pangan di negerinya. Inisiasi keberadaan demplot ini dilakukan oleh Ibu Raja Belis atau kepala desa Desa Belis yang sudah berjalan sejak awal tahun 2024 lalu dengan jenis tanaman seperti singkong, ketela, dan sayur-sayuran.
“Alasan saya menginisasi demplot ini adalah karena harus ada yang menyadarkan bahwa desa harus bisa mandiri pangan. Selain itu demplot ini juga memberi lapangan pekerjaan bagi yang mengelolanya,” ujar Wajana Rumalutur (60) Ibu Raja Belis saat ditemui pada bulan Februari 2024 lalu.
Ide ini juga menjadi sebuah keharusan dalam mengalokasikan 20% dana desa untuk ketahanan pangan melalui Peraturan Menteri Desa (Permendes) Nomor 2 Tahun 2024 dan berlaku pada tahun 2025 ini. Pengelolaan demplot yang dilakukan oleh kelompok tani Negeri Belis terdiri dari tiga kelompok tani yang masing-masing beranggotakan 10 warga. Kondisi saat ini, jumlahnya terdiri dari 20 laki-laki dan 10 perempuan dalam satu kelompok tani tersebut. Peran dan tanggung jawab petani laki-laki biasanya membantu dalam pekerjaan persiapan lahan, membuat akses jalan, membawa alat-alat pertanian. Sedangkan bagi petani perempuan biasanya berperan dalam menyiapkan bibit, menanam, merawat, dan memanen hasil.
Hasil panennya dapat dijual ke desa lain dan keuntungannya dibagi secara merata. Tercatat setidaknya awal tahun 2024 sampai dengan 2025 setidaknya sudah memanen tanaman singkong sebanyak tiga kali, kacang tanah empat kali dan sayur mayur seperti kacang panjang sebanyak satu kali. Pengelolaan demplot yang dilakukan oleh kelompok tani Negeri Belis merupakan salah satu contoh kecil dari sekian banyak desa lain di Indonesia. Semoga adanya demplot ini memberi harapan kelompok tani dalam upaya menjaga ketahanan pangan lokal untuk masa depan. Harapan mereka dari pemerintah adalah perlu dibuat pelatihan dalam mengelola pertanian yang lebih luas dan variatif. Tidak hanya itu, saat ini mereka juga mempersiapkan lahan untuk peternakan ikan air tawar. Ibu Raja Belis berharap semangat dari Negeri Belis dapat didengar dan didukung oleh pemerintah daerah sebagai desa percontohon dalam upaya keberlanjutan pertanian ke depan.
Sebagai pemimpin administratif, Ibu Raja Belis adalah bukti nyata seorang perempuan yang berjuang dalam upaya mendorong warganya untuk beradaptasi terhadap perubahan iklim di desanya. Keputusan ini diambil untuk menjaga nilai-nilai kearifan lokal agar masyarakat untuk lebih berdaya melalui pangan. Inisiatif ini bukan sekedar soal menanam komoditas, namun juga menanam kesadaran akan pentingnya ketahanan pangan sebagai pondasi menghadapi perubahan iklim di masa depan.
Dari Negeri Belis kita semua dapat belajar adaptasi perubahan iklim dari hal kecil dan sederhana yang dilakukan oleh kelompok tani di sebuah desa yang diprakasai seorang perempuan yang gigih dalam memperjuangkan kesadaran di masyarakat.
Uswatun Khasanah Enggar Saptaningrum/ Social Development Officer
Referensi:
https://www.bulog.co.id/beraspangan/ketahanan-pangan/
http://ppebalinusra.menlhk.go.id/perempuan-kesetaraan-gender-dan-perubahan-iklim/
Oktavian, Riskey. Avrielia, Tasya. Ekofeminisme dan Kontribusi Perempuan dalam Transformasi Iklim pada Forum G-20 di Indonesia. Universitas Kristen Indonesia: Jurnal Sosial Politik Vol 10 No 2 (Juli-Desember 2024), pp.186-198.
Carr, E.R. and Thompson, M.C., 2014. Gender and climate change adaptation in agrarian settings: current thinking, new directions, and research frontiers: gender and climate change adaptation in agrarian settings. Geography Compass, 8 (3), 182–197. doi:10.1111/gec3.12121.