Negotiating Environmental Crisis throughout? (or within) Forest Ecosystem Restoration Projects in West Java and Lombok, Indonesia
Sundjaya
PhD student in Anthropology, University of Indonesia
Syarifudin
Project Manager, PT Gaia Eko Daya Buana
Berangkat dari dua lokasi proyek Gaia Indonesia—Puncak (Jawa Barat) dan Lombok Tengah (NTB)—artikel ini menelaah bagaimana “krisis lingkungan” tidak sekadar peristiwa ekologis, melainkan wacana yang diproduksi, diperdebatkan, dan dinegosiasikan oleh beragam aktor: petani, pemerintah, konsultan, hingga donor. Ditulis oleh Sundjaya (Universitas Indonesia) dan Syarifudin (Gaia Indonesia), makalah ini memosisikan proyek Forest Ecosystem Restoration (FER) sebagai arena sosial—tempat ilmu pengetahuan, kebijakan, dan kepentingan ekonomi bertemu lalu membentuk lanskap baru.
Dengan pendekatan kualitatif, para penulis menunjukkan bahwa narasi krisis kerap menyederhanakan relasi hulu–hilir. Padahal, definisi masalah dan solusi di lapangan adalah hasil tarik-uluran pengetahuan lokal, regulasi, dan mekanisme pembiayaan. Studi ini mengajukan kerangka tiga tahap—problematization, mediation, dan apprehension—untuk menelusuri bagaimana krisis didefinisikan, dinegosiasikan, kemudian dijalankan dalam praktik restorasi.
Di titik temu inilah agroforestry menjadi jalan tengah yang konkret. Negosiasi antar-aktor melahirkan rancangan tanam Multi-Purpose Tree Species (MPTS) seperti durian, alpukat, nangka, dan aren yang menyeimbangkan fungsi ekologis dan peluang ekonomi rumah tangga. Keberatan-keberatan lokal—misalnya kekhawatiran hama satwa pada jenis tertentu—ditangani melalui penyesuaian desain, pendampingan teknis, dan pemantauan partisipatif bersama petani.
Lebih jauh, artikel ini menegaskan bahwa FER berpotensi menciptakan lanskap sosio-ekologis baru yang bukan hanya menahan risiko bencana di wilayah hilir perkotaan, tetapi juga memperkuat ketahanan ekonomi di hulu. Kuncinya adalah integrasi erat pendekatan sosial, ekonomi, dan ekologi—sebagaimana dipraktikkan dalam proyek-proyek Gaia Indonesia—agar restorasi hutan berjalan adil, efektif, dan relevan menghadapi tantangan perubahan iklim.