Blog

Budidaya Gaharu: Upaya Menyelamatkan Gaharu Dari Kepunahan

Gaharu merupakan resin bewarna hitam yang ditemukan pada tumbuhan. Resin merupakan salah satu sistem pertahanan tumbuhan akibat infeksi jamur. Aquilaria, Gyronops dan Phaleria merupak genus tumbuhan yang bisa menghasilkan gaharu. Tumbuhan ini merupakan tumbuhan asli Asia Tenggara yang tersebar di Asia Tenggara, India dan sebagian China. Biasanya, untuk mendapatkan gaharu masyarakat melakukan perburuan gaharu di hutan selama beberapa hari. Perburuan ini dilakukan berkemlompok yang terdiri dari 3-6 orang perkelompoknya. 

Gaharu sudah lama menjadi hasil hutan bukan kayu unggulan yang banyak diminati oleh pasar. Gaharu biasanya digunakan sebagai pewangi ruangan, parfum, kosmetik dan produk lainya. Gaharu yang berkualitas tinggi  biasanya dihargai Rp 160.000.000-320.000.000 per kg sedangkan gaharu kualitas rendah dihargai USD 1.600.000-4.800.000 per-kg untuk gaharu berkualitas rendah. Sedangkan untuk minyak hasil olahan gaharu dihargai berkisar Rp 640.000.000-800.000.000 perliternya.  

Permintaan pasar yang tinggi mengakibatkan perburuan gaharu di alam liar semakin tinggi. Selain itu, habitat alami gaharu juga banyak mengalami degradasi dan deforestasi akibat alih fungsi lahan yang menjadi lahan perkebunan.  Menurut lembaga konservasi dunia International Union for Conservation of Nature (IUCN) jenis gaharu masuk dalam daftar merah (redlist) yang mengalami penurunan populasi di alam liar, di antaranya jenis Aquilaria malaccensis dan Aquilaria crassna yang berstatus kritis punah atau Critically Endangered (CR). Selain itu, menurut the Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) genus Aquilaria spp. dan Gyrinops spp. tergolong kedalam Apenddix II. Appendix II merupakan daftar spesies yang tidak terancam kepunahan, namun bila tidak dilindungi potensi ancaman punah bisa terjadi bila perdagangan terus berlanjut.  

Salah satu upaya yang bisa dilakukan untuk melindungi serta mengurangi ancaman melakukan penebangan di alam, gaharu juga bisa dibudidaya secara efektif. Hal ini tentunya harus menjadi perhatian khusus untuk kita semua untuk menemukan cara agar produksi gaharu tetap tinggi tanpa mengancam ketersediaanya di alam. Budidaya gaharu di Indonesia telah dilakukan sejak awal tahun 2000 dibeberapa daerah di antaranya, di Bengkulu, Jambi, Riau, Kalimantan Timur, dan Nusa Tenggara Barat, namun, budidaya tersebut belum banyak dikenal oleh masyarakat. 

Budidaya gaharu dapat dilakukan dengan dua metode yaitu metode monokultur dan campuran atau tumpangsari. Budidaya monokultur hanya menanam satu jenis tanaman saja yaitu gaharu. Sedangkan pada sistem budidaya campuran, tanaman gaharu biasanya diselingi oleh tanaman jenis lain. Tanamam yang biasanya dijadikan tanaman selingan yaitu kakao, nenas, vanili, karet dan sawit. 

Dalam proses budidaya tentunya diperlukan perawatan dan perlakuan khusus. Sama halnya dalam budidaya gaharu, untuk menghasilkan gubal gaharu, pohon gaharu perlu dilukai agar gubal gaharu terbentuk. Ada tiga acara untuk membentuk gubal gaharu yaitu secara fisik, kimia dan biologis. Pertama secara fisik, pohon gaharu dilukai dengan parang, kapak atau alat lainya. Teknik ini merupakan teknik paling mudah dan murah dilakukan oleh petani. Namun, hal ini kurang efektif karena gubal gaharu yang terbentuk berkualitas rendah. Kedua secara kimia, pohon gaharu disuntikkan zat kimia untuk menstimulasi terbentuknya resin. Jenis zat kimia yang disuntikkan biasanya berasal dari  segala jenis zat asam seperti  jasmonat, sulfur dan asetat, serta alkohol. Metode ini efektif menghasilkan gaharu kualitas tinggi, namun massih diragukan dampaknya terhadap lingkungan. Metode ketiga yaitu biologis, pohon gaharu disuntikkan dengan senyawa biologis seperti jamur dan bakteri.Jenis jamur yang digunakan yaitu Fusarium sp., Aspergillius sp., Penicillium sp., Xylaria, sp. dan Chaetomium sp. Metode ini merupakan metode paling efektif dan ramah lingkungan. Namun, metode ini merupakan metode termahal. 

Beberapa studi telah dilakukan tentang kelayakan gaharu sebagai tanaman budidaya. Hasil studi menemukan bahwa dalam satu kali periode tanam gaharu selama 15 tahun bisa menghasilkan maksimum 264,41 kg/ha dan minimum hanya 34,07 kg/ha gaharu kelas bawah atau kamedangan. Sedangkan untuk gaharu kualitas terbaik tidak dapat diprediksi. Namun, produksi gaharu ini dapat menurun pada masa tanam kedua dan seterusnya. Sedangkan jika hasil gaharu ini diolah menjadi minyak gaharu dalam satu hektar lahan bisa menghasilkan  103.24 mL/ha. Jika dirupiahkan, maka dalam satu hektar lahan gaharu bisa menghasilkan kamedangan dengan nilai Rp 54.000.000-4.200.000.000 dengan estimasi harga kamedangan Rp 1.600.000/kg. Perhitungan ini tentu belum termasuk hasil dari gaharu berkualitas tinggi. 

Melihat harga saat ini tentunya budidaya gaharu menggiurkan bagi para petani. Namun, budidaya ini juga memiliki beberapa tantangan. Tantangan terbesar yang harus dihadapi oleh petani gaharu adalah mahalnya harga inokulasi dan minimnya pengetahuan petani tentang tata cara inokulasi gaharu. Tantangan lain yang harus dihadapi petani gaharu yaitu harga gaharu yang tidak stabil dipasaran. Sehingga menyulitkan petani dalam memanajemen keuangan. Adapun tantangan lainya yaitu matinya pohon gaharu akibat inokulasi yang berlebihan. Hal ini tentunya sangat merugikan bagi para petani dan akan sangat berdampak signifikan terhadap hasil akhir dari budidaya ini. 

Terlepas dari semua ancaman dan tantangan dalam budidaya gaharu. Budidaya gaharu memiliki prospek yang bagus kedepanya. Selain itu, Budidaya gaharu juga merupakan salah satu Langkah untuk menyelamatkan gaharu dari kepunahan di alam. 

 

Rodiyathul Rahmat/ Botanist Officer Gaia Indonesia 

 

 

Daftar Pustaka: 

Roemantyo, R., & Partomihardjo, T. (2010). Analisis prediksi sebaran alami gaharu marga Aquilaria dan Gyrinops di Indonesia. Berita Biologi, 10(2), 189-198. 

Wiriadinata, H., Semiadi, G., Darnaedi, D., & Waluyo, E. B. (2010). Konsep Budidaya gaharu (Aquilaria spp.) di Provinsi Bengkulu. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam, 7(4), 371-380. 

Abdulah, L., Susanti, R., Rahajoe, J. S., Atikah, T. D., Subarudi, S., Dewi, R., … & Turjaman, M. (2022). Feasibility of agarwood cultivation in Indonesia: Dynamic system modeling approach. Forests, 13(11), 1869. 

Desa, A. P., Lee, S. Y., Mustapa, M. Z., Mohamed, R. O. Z. I., & Emang, D. I. A. N. A. (2021). Trends in the agarwood industry of Peninsular Malaysia. The Malaysian Forester, 84(1), 152-168. 

Samsudin, Y. B., Adzani, T., Ramadian, M. A., Naito, D., & Baral, H. (2021). The potential of agarwood as a climateresilient livelihood option in Indonesia. 

Latest Article

Social Links