Sebagai negara kepulauan dengan hutan hujan tropis yang amat luas, Indonesia merupakan rumah bagi 11,7% mamalia di dunia, di mana 66 jenis di antaranya ialah primata. Meski begitu, kini kekayaan primata tersebut terancam oleh aktivitas manusia, dari alih fungsi habitat hingga perburuan ilegal. Guna mengantisipasi terjadinya kepunahan, 37 jenis primata dengan kondisi kritis dan terancam telah dilindungi oleh negara agar terjamin keberlangsungan hidupnya.
International Union for Conservation Nature (IUCN) adalah lembaga konservasi internasional terdepan yang bekerja untuk menilai kesintasan alam yang diakui oleh berbagai entitas global. IUCN turut mengevaluasi tingkat resiko kepunahan suatu jenis berdasarkan kondisi faktual dan berbagai kriteria. Hasil evaluasi ini dikenal sebagai IUCN Red List of Threatened Species, mengategorikan status konservasi dan kepunahan dari Least Concern (Resiko Rendah) sampai tertinggi Critically Endangered (Kritis).
Tahun ini, IUCN menerbitkan laporan rutin berjudul Primates in Peril: The World’s 25 Most Endangered Primates. Dilansir dari publikasi yang telah rilis dari 25 tahun lalu ini, 13 jenis primata Indonesia telah masuk dalam daftar jenis paling terancam oleh kepunahan. Terdapat empat jenis yang terdaftar untuk periode 2023-2025, antara lain Tarsius Sangir, Lutung Kelasi, Simakobu, dan Orangutan Tapanuli. Tulisan ini akan mengulas profil dari masing-masing jenis tersebut.
Tarsius Sangir (Tarsius sangirensis)
Kredit ilustrasi oleh Stephen D. Nash dan foto oleh Phil Chaon
Tarsius Sangir adalah primata kecil endemik Pulau Sangihe seluas 547 km2, yang terbentuk dari aktivitas vulkanik jutaan tahun lalu dan terisolasi dari daratan Sulawesi maupun Filipina. Isolasi geografis ini menyebabkan munculnya spesies unik seperti Tarsius Sangir, satu dari 12 jenis tarsius di dunia, yang menunjukkan perilaku sosial khas seperti panggilan duet di fajar hari.
Sebagai primata nokturnal karnivora, primata unik ini memangsa serangga dan menunjukkan morfologi khas seperti mata besar, ekor panjang, dan kemampuan memutar kepala hampir 180°. Leluhur Tarsius Sangir diyakini berasal dari Sulawesi yang terbawa hanyutan vegetasi dan kemudian beradaptasi di Pulau Sangihe.
Saat ini, populasi Tarsius Sangir diperkirakan hanya sekitar 464 individu. Mereka dikategorikan sebagai Endangered (Rentan) oleh IUCN karena keterbatasan sebaran, deforestasi, dan potensi bencana dari Gunung Awu yang aktif di pulau tersebut. Ancaman terbesar juga datang dari konsesi tambang emas yang mencakup hampir separuh pulau.
Meski sudah ada kawasan lindung yang ditetapkan pemerintah di sisi selatan Pulau Sangihe seluas 3.549 ha, masyarakat lokal juga melakukan upaya perlindungan habitat Tarsius Sangir dengan menetapkan 2.157 ha kawasan hutan di area desanya untuk dilindungi. Masuknya Tarsius Sangir ke dalam daftar primata paling terancam di dunia membantu menarik perhatian global terhadap pentingnya konservasi di Sangihe.
Lutung Kelasi (Presbytis chrysomelas)
Kredit ilustrasi oleh Stephen D. Nash dan foto oleh Burhanuddin Ihsan Alfani
Lutung Kelasi adalah primata dari kelompok monyet daun (Colobinae) yang dulunya tersebar luas di barat laut Borneo, namun kini hanya ditemukan di sekitar 5% dari sebaran historisnya. Habitat utamanya berada di dataran rendah, hutan rawa, gambut, dan mangrove.
Lutung ini mulanya dianggap sebagai subjenis dari kokah (Presbytis femoralis) atau simpai (Presbytis melalophos) namun kini ditetapkan sebagai jenis tersendiri. Terdiri dari dua subjenis, yaitu P. c. chrysomelas dan P. c. cruciger, yang dibedakan berdasarkan sebaran dan pola warna tubuh. Hidup berkelompok kecil, lutung ini bersifat diurnal, memakan dedaunan, dan lebih sering beraktivitas di pohon pada ketinggian 4–20 meter.
Populasinya kini sangat langka, hanya sekitar 200–500 individu. Mulanya hanya diketahui di Sarawak, tetapi keberadaannya ditemukan di Taman Nasional Danau Sentarum pada 2019 menjadi catatan sebaran yang penting. IUCN menempatkan Lutung Kelasi dalam status Critically Endangered (Kritis), namun sayangnya belum masuk daftar satwa dilindungi Indonesia.
Upaya konservasi sangat diperlukan, termasuk pengelolaan koridor hutan dan peningkatan riset guna memperkuat dasar kebijakan. Penguatan kerjama bilateral dengan Malaysia dalam pengelolaan habitat dan populasi turut menjadi strategi penting untuk memastikan viabilitas populasi yang tersisa dan mencegah kepunahan lokal.
Simakobu (Simias concolor)
Kredit ilustrasi oleh Stephen D. Nash dan foto oleh Animon
Simakobu adalah primata endemik Kepulauan Mentawai yang tersebar di empat pulau besar, yaitu Siberut, Sipora, dan Pagai. Simakobu memiliki dua subjenis, S. c. concolor yang tersebar di Pulau Sipora, Pagai, dan pulau kecil sekitarnya, sedangkan S. c. siberu hanya ada di Pulau Siberut Uniknya, Simakobu lebih dekat secara genetik dengan bekantan dibanding primata Mentawai lain.
Status konservasi Simakobu sangat mengkhawatirkan. Deforestasi serta degradasi habitat akibat aktivitas perusahaan kaui dan rencana perkebunan skala besar serta perburuan sehingga IUCN memasukkannya kategori Critically Endangered (Kritis). Populasinya menurun drastis hingga 75% sejak 1980 dan kini hanya tersisa 6.700–17.300 individu.
Selain kehilangan habitat, perburuan menjadi ancaman serius, terutama karena dagingnya lebih disukai dibanding primata lain di Mentawai. Nilai-nilai tradisional yang sebelumnya membatasi perburuan kini mulai ditinggalkan seiring perubahan kepercayaan dan gaya hidup.
Langkah konservasi perlu segera dilakukan melalui pembentukan kawasan lindung baru, edukasi masyarakat lokal, serta pengembangan ekowisata yang berkelanjutan sebagai alternatif ekonomi yang ramah lingkungan.
Orangutan Tapanuli (Pongo tapanuliensis)
Kredit ilustrasi oleh Stephen D. Nash dan foto oleh Farhan Adyn
Orangutan Tapanuli adalah spesies kera besar terbaru yang diumumkan pada 2017, endemik Ekosistem Batang Toru di Sumatera Utara. Menariknya, Orangutan Tapanuli lebih dekat secara genetik dengan Orangutan Kalimantan (P. pygmaeus) daripada Orangutan Sumatera (P. abelii). Dengan populasi hanya sekitar 767 individu, ini menjadikannya orangutan paling langka di dunia.
Habitat Orangutan Tapanuli terfragmentasi dalam dua blok lanskap, timur dan barat. Bahkan, sebarannya saat ini hanya sekitar 2,5% dari jumlah yang ada pada tahun 1890-an. Sebagian besar area dengan kepadatan populasi tertinggi berada di luar kawasan konservasi, sehingga rentan terhadap kehilangan habitat akibat tambang, jalan, pembangkit listrik, dan konflik dengan manusia.
Selain fragmentasi habitat, perburuan dan perdagangan anak orangutan menjadi ancaman serius. Mengingat tingkat reproduksi yang sangat lambat. usia matang reproduksi Orangutan Tapanuli baru saat 15 tahun dan jarak antar kelahiran 8-9 tahun. Jika tidak ditangani, populasi ini diproyeksikan tidak akan bertahan atau punah dalam jangka panjang.
IUCN mengkategorikan Orangutan Tapanuli sebagai jenis primata Critically Endangered (Kritis). Masa depannya sangat bergantung pada perlindungan habitat tersisa, konektivitas koridor hutan, dan penghentian pemindahan individu dari alam liar.
Farhan Adyn/ Sustainable Commodities Officer Gaia Indonesia
Referensi
IUCN. (2025). The IUCN Red List of Threatened Species, Version 2025-1. Retrieved from https://www.iucnredlist.org
Mammal Diversity Database. (2025). Mammal Diversity Database (Version 2.0) [Data set]. Zenodo. Retrieved from https://doi.org/10.5281/zenodo.15007505
Mittermeier, R., Reuter, K., Rylands, A., Ang, A., Jerusalinsky, L., Nash, S., . . . Humle, T. (Eds.). (2024). Primates in Peril: The World’s 25 Most Endangered Primates 2023–2025. Washington, DC: IUCN SSC Primate Specialist Group, International Primatological Society, Re:wild.
Phillipps, Q., & Phillipps, K. (2018). Phillipps’ Field Guide to the Mammals of Borneo and Their Ecology (2nd ed.). Oxford, UK: John Beaufoy Publishing.
Supriatna, J. (2019). Field Guide to The Indonesia Primates. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Referensi
https://www.mammaldiversity.org/
https://www.iucnredlist.org/search?permalink=e8b1e174-23a5-43b0-9147-aed9513b8281