Interaksi biotik memainkan peranan penting untuk memahami struktur, dinamika, dan fungsi sistem alam secara teoritis maupun empiris. Salah satu interaksi terkait hubungan mutualisme antara satwa dengan tumbuhan adalah peristiwa pemencaran biji oleh satwa sebagai agen pemencarnya, atau prosesnya disebut dengan istilah zoochory. Pemencaran biji menghubungkan akhir dari siklus reproduktif tumbuhan dewasa dengan tahapan hidup generasi selanjutnya yang dianggap berefek mendalam pada struktur vegetasi. Tentunya interaksi ini juga menguntungkan bagi satwa sebab dengan mengonsumsi buah dari biji yang dipencarkan, satwa memperoleh nutrisi yang dibutuhkannya.
Sebelumnya, tumbuhan berbunga memiliki cara yang beragam dalam memencarkan biji. Cara biji dipencarkan dapat terjadi secara autochory atau dilakukan oleh tumbuhan itu sendiri tanpa bantuan vektor atau agen luar, dan secara allochory atau dengan bantuan vektor atau agen sekunder dalam memencarkan biji, salah satunya dengan bantuan hewan (zoochory). Biji secara tidak sengaja dapat ditransportasikan dari sisa buah yang dikonsumsi (synzoochory), maupun dideposisikan via feses melalui sistem pencernaan agen pemencar (endozoochory).
Vertebrata, kelompok satwa bertulang belakang, menjadi pemain kunci dalam proses pemencaran biji yang sangat penting bagi mekanisme siklus reproduksi sebagian besar tumbuhan tropis dan subtropis di Asia, terutama di wilayah Indomalaya/Oriental, bahkan sekitar 65%-95% jenis-jenis tumbuhan berkayunya dipencarkan oleh vertebrata. Melalui usus vertebrata, daging atau bulir buah terangkat dan kulit biji terlukai sehingga meningkatkan kualitas dan kecepatan biji untuk berkecambah. Satwa yang cenderung lebih banyak memakan buah, disebut satwa frugivora, juga meningkatkan kesuksesan proses pemencaran biji dengan memilih biji dan buah yang berkualitas tinggi serta bebas dari predator biji.
Peristiwa biji yang dipencarkan juga merupakan salah satu tahap dari siklus pemencaran biji itu sendiri (seed dispersal loop) yang kompleks (Gambar 1). Tahapan siklus tersebut dimulai ketika biji yang dihasilkan oleh tumbuhan dewasa berpindah dari tumbuhan induknya, lalu berkecambah menjadi semai lalu menjadi tumbuhan dewasa sehingga mempengaruhi ketersediaan buah dan biji pada generasi selanjutnya. Tidak semua biji dipencarkan dan kebanyakan biji juga tidak berhasil menyelesaikan siklus pemencaran biji. Namun, tumbuhan induk yang menghasilkan biji dan berhasil menyelesaikan siklusnya akan meneruskan sejumlah gen mereka yang tidak proporsional ke generasi berikutnya sehingga gen pada komposisi vegetasi generasi berikutnya juga tidak proporsional.
Gambar 1. Dua pendekatan utama yang digunakan untuk menginvestigasi pemencaran biji oleh satwa, yaitu fokus pada pola dan proses yang terjadi di alam (merah), dan konsekuensinya pada demografi tumbuhan serta struktur vegetasi (hijau). Proses (dicetak tebal) menghasilkan pola (dicetak dalam kotak) yang dapat diukur (Wang & Smith, 2002).
Pemencaran biji oleh agen pemencar menghasilkan pola distribusi spasial biji pencaran yang disebut sebagai bayangan biji (seed shadow). Keseluruhan bayangan biji dari berbagi individu di suatu area merepresentasikan distribusi aliran gen dari pohon induk dan menjadi tempat suksesi serta regenerasi populasi suatu jenis tumbuhan. Bentuk bayangan biji ditentukan oleh proses pemencaran yang menghasilkannya, yakni proporsi biji yang dipencarkan, tingkat kunjungan agen pemencar, jumlah biji yang dipencarkan tiap kali kunjungan oleh agen pemencar, jarak pemencaran biji, serta lokasi/situs dan kepadatan biji yang dideposisikan.
Pemencaran biji yang dibantu oleh satwa memiliki konsekuensi ekologis dan evolusioner bagi biodiversitas dan fungsi ekosistem. Dalam jangka waktu lama, interaksi mutualistik tumbuhan-satwa ini menciptakan sindrom pemencaran biji (seed dispersal syndrome), yakni adapatasi karakteristik diaspora (buah dan/atau biji) yang berkorelasi pada sifat agen pemencarnya. Karakteristik pada sindrom pemencaran biji umumnya ialah berupa ukuran, bentuk, warna, aroma, massa, dan persistensi buah. Sebagai contoh, banyak jenis primata telah menjadikan buah sebagai pakan utama dalam komposisi makanannya dan buah yang bijinya dipencarkan oleh primata umumnya manis atau asam dengan daging berair dan berkulit tebal serta berwarna oranye-kuning.
Dengan mempertimbangkan pemencaran biji sebagai proses ekologis penting dan memahami konsekuensi khas yang dihasilkannya, upaya konservasi maupun restorasi ekosistem dapat dilakukan lebih efektif sehingga bukan hanya keragaman taksonomi, seperti jumlah jenis dan populasi, yang terjaga melainkan keragaman fungsi ekologis juga turut terpulihkan.
Referensi:
Corlett, R.T. (2017). Frugivory and seed dispersal by vertebrates in tropical and subtropical Asia: An update. Global Ecology and Conservation, 11, 1–22.
Gautier-Hion, A., Duplantier, J.M., Quris, R., Feer, F., Sourd, C., Decoux, J.P., Doubost, G., Emmons, L., Erard, C., Hecketsweiler, P., Moungazi, A., Roussilhon, C., & Thiollay, J.M. (1985). Fruit characters as a basis of fruit choice and seed dispersal in a tropical forest vertebrate community. Oecologia, 65(3), 324–337
Howe, H.F., & Miriti, M.N. (2004). When Seed Dispersal Matters. BioScience, 54(7), 651
Russo, S.E. (2017). Seed Dispersal. Dalam The International Encyclopedia of Primatology, 1–5
Wang, B.C., & Smith, T. B. (2002). Closing the seed dispersal loop. Trends in Ecology & Evolution, 17(8), 379–385
Muhammad Farhan Adyn I Gaia Indonesia