NEWS

Desa Wisata Jatimulyo: Model Nyata Pelestarian Burung dan Ekonomi Berkelanjutan

Burung-Burung Jatimulyo

Kala cuaca cerah, tiap hari tersiar kicauan burung yang menentramkan di Kalurahan Jatimulyo, Kapanewon Girimulyo, Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta. Pedesaan yang terletak di bentang alam Pegunungan Menoreh, menambah suasana sejuk dan meneduhkan perasaan. Kicau burung terus terdengar saling menyaut dari berbagai penjuru pekarangan, kebun, juga hutan rakyat. Ada pula yang lalu-lalang mengangkasa bebas di langit baik dalam kawanan maupun sendirian, sekadar berpindah tempat atau memantau mangsa dari kejauhan.

Beragamnya jenis burung Jatimulyo tercermin dari berbagai kondisi fisik habitat dan ketersediaan sumber pakan yang mendukung. Dengan luas 1.629 ha yang terbentang di ketinggian 300 – 800 mdpl, 80% areanya merupakan ekosistem agroforest dengan tanaman perkebunan seperti cengkeh (Syzigium aromaticum), sengon (Albizia chinensis), aren (Arenga pinnata), kelapa (Cocos nucifera), pisang (Musa spp.), dan kopi (Coffea canephora).

 

Burung madu jawa (Aethopyga mystacalis), burung endemik pulau Jawa dan dilindungi negara. Nektar sebagai pakan utama sekaligus menjadikannya sebagai agen penyerbuk bunga (Farhan Adyn/Gaia Indonesia)

Catatan temuan terus bertambah sejak 2019 dari 99 jenis hingga kini menjadi 115 jenis burung yang hidup bebas di Jatimulyo, baik itu burung penetap maupun burung migrasi. Jumlah ini merupakan setengah dari total 227 jenis burung yang berkeliaran di Kabupaten Kulon Progo (Taufiqurrahman dkk., 2015). Dilansir dari Birdlife International (2025), setidaknya ada empat jenis burung Jatimulyo yang statusnya terancam secara global dari daftar tersebut, yaitu cucak kuning Rubigula dispar (Vulnerable), kacamata biasa Zosterops melanurus (Vulnerable), empuloh janggut Alophoixus bres (Vulnerable), dan sikatan cacing Cyornis banyumas (Critically Endangered). Jenis-jenis ini juga dikategorikan rawan dalam lis Asian Songbird Trade Crisis Summit pada 2015 (Lee dkk., 2016).

Desa Wisata Ramah Burung

Meski begitu kehadiran burung di Jatimulyo dulu sering kali dimanfaatkan dengan cara kurang elok. Individunya diburu untuk dijadikan peliharaan atau dijual demi kepentingan golongan tertentu. Tak sedikit yang dibawa keluar dari habitat aslinya dan ditampung oleh penadah maupun pembeli langsung. Tingginya permintaan burung, khususnya kelompok burung kicau, tak lepas dari eratnya budaya masyarakat Jawa dalam memelihara burung dengan berbagai motif alasan, seperti untuk peneguhan status sosial atau keperluan estetika semata.

Aktivitas perburuan yang tak terkendali kemudian mendorong pengurangan populasi yang signifikan untuk kelompok jenis burung tertentu, terutama yang memiliki nilai pasaran tinggi. Hal ini menyebabkan ketidakseimbangan komunitas burung dan mengganggu fungsi ekologis perkebunan lahan campur yang juga bergantung pada jasa burung, seperti penyerbukan, penyebaran biji, hingga pengendalian hama. Saat proses ini terganggu, ada kemungkinan juga membuat produktivitas tanaman menjadi rendah dan serangan hama meningkat. Pada akhirnya, selain semakin sunyinya Jatimulyo dari kicauan burung liar, hilangya burung kelak menjadi pemicu bencana ekologis bagi kehidupan dan dirasakan oleh masyarakat setempat.

Kegiatan pengamatan burung (birdwatching) menjadi daya tarik desa ekowisata Jatimulyo (©KPB Bionic UNY)

Atas dasar itu, kesadaran masyarakat Jatimulyo akan pentingnya kehidupan burung di alam sekitar semakin terbangun. Dengan bantuan berbagai entitas dari pemangku kebijakan, komunitas, organisasi, hingga pegiat lingkungan, aktivitas pelestarian burung-burung Jatimulyo mulai diejawantahkan. Itikad ini disambut baik oleh pemerintah desa dengan menguatkan status perlindungan burung serta lingkungan hidup melalui penerbitan Perdes No. 8 Tahun 2014. Bahkan, salah satu pasalnya secara tegas berbunyi:

“Setiap orang dilarang berburu, menembak, menjaring, memikat dan menangkap segala jenis burung dan ayam hutan di wilayah desa”

Pada tahun 2018, terbentuklah Kelompok Tani Hutan (KTH) Wanapaksi sebagai salah satu implementer perdes tersebut. KTH Wanapaksi berperan sebagai wadah bagi masyarakat Jatimulyo yang ingin berkontribusi pada konservasi burung dan habitatnya. Untuk menekan angka perburuan, KTH Wanapaksi juga mengajak pemburu dan pemikat burung untuk beralih dengan bergabung pada usaha berkelanjutan, seperti pengelolaan komoditas serta jasa ekowisata. Selain itu, KTH Wanapaksi juga menawarkan paket wisata edukasi bagi para pengunjung yang ingin mempelajari pengolahan kopi dan gula, budidaya lebah madu tanpa sengat (klanceng), serta pengamatan burung desa (birdwatching) dengan harga dari Rp 47.000 – Rp 70.000/orang.

Kunjungan Kemenparekraf Sandiaga Salahuddin Uno bersama dewan juri Anugerah Desa Wisata Indonesia (ADWI) 2024 di Desa Wisata Jatimulyo pada 18-19 Juli 2024 (©KTH Wanapaksi)

Selain untuk pelestarian burung dan habitatnya, semua upaya ini bermaksud untuk menciptakan penghidupan alternatif yang ramah lingkungan dan berkesinambungan. Bersama-sama dengan Dinas Pariwisata Kulon Progo, Jatimulyo dianugerahi penghargaan pemenang utama dalam ajang Anugerah Desa Wisata Indonesia (ADWI) dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Indonesia pada November 2024 lalu. Kemenangan ini sekaligus menjadi penghargaan keempat dari kancah serupa. Apresiasi yang amat pantas mengingat komitmen dan antusiasme masyarakat Jatimulyo yang besar untuk kesejahteraan dan kelestarian alamnya, mengukuhkan Jatimulyo sebagai percontohan desa wisata yang layak diperbanyak di daerah lain.

 Kopi Sulingan dan Adopsi Sarang Burung

Tatkala Perdes 8/2014 baru ditetapkan, masyarakat yang berprofesi sebagai pemikat dan penjual burung kehilangan pendapatannya. Sebelumnya, mereka dapat menjual burung sikatan cacing dewasa seharga Rp 750.000/ekor dan anakan Rp 250.000/ekor, menjadi burung dengan nilai jual paling tinggi karena kelangkaannya, sedangkan burung empuloh janggut merupakan burung termahal kedua senilai Rp 500.000/ekor untuk individu dewasa dan Rp 150.000/ekor untuk anakannya. Karena aktivitas perburuan yang masif ini, burung kicau lain seperti kacer/kucica kampung Copsychus saularis, perenjak jawa Prinia familiaris, kacamata biasa Zosterops melanurus, dan anis merah Geokichla citrina menjadi sangat langka bahkan mengalami kepunahan lokal (Taufiqurrahman dkk., 2019).

 

Pemrosesan biji kopi pascapanen dan penyangraian kopi dengan profil medium dark untuk robusta sedangkan medium light untuk arabika (©Kopi Sulingan)

Pada 2014, Yayasan Kutilang Indonesia bersama Komunitas Peduli Menoreh merespon tantangan ini dengan memadukan upaya konservasi burung dan budidaya kopi. Meski perkebunan kopi masih tersisa, produksi kopi telah lama ditinggalkan sejak 1990-an akibat harganya yang anjlok saat itu. Atas informasi ini, budidaya kopi kembali dihidupkan guna mengakomodasi penghidupan mantan pemburu burung di Jatimulyo dan membentuk kelompok petani hutan, yang nantinya menjadi KTH Wanapaksi. Sejak saat itu hingga 2019, sebanyak 50 petani yang mantan pemburu telah terlibat dan menerima upah melalui penjualan kopi dari sekitar 7,5 ton buah kopi yang telah dihasilkan dengan nilai 41 juta rupiah. Produk kopi ini kemudian diberi merek “Kopi Sulingan”, disadur dari nama lokal burung sikatan cacing yang merupakan jenis kunci di Jatimulyo dan menjadi simbol upaya konservasi burung yang dilakukan secara guyub.

Salah satu inovasi lainnya ialah program adopsi sarang. Skema adopsi sarang menekankan bahwa banyak pihak dapat menjadi penerima manfaat langsung dari perlindungan burung, beberapa di antaranya ialah pemilik lahan (Rp 125.000/sarang), penemu sarang (Rp 75.000/sarang), petugas jaga (Rp 200.000/sarang), pembuat hiding (Rp 80.000), dan masyarakat luas melalui kas RT dan KTH (Rp 50.000/sarang). Paket yang ditawarkan terbagi menjadi 3 skala prioritas kelompok burung berdasarkan tingkat keterancaman, status populasi, dan endemisitas. Prioritas pertama dihargai Rp 1.500.000/sarang, yaitu jenis sarang dari burung yang terancam dan populasinya berkurang drastis. Prirotas kedua dibanderol Rp 1.000.000/sarang, ialah sarang burung pemangsa, burung berkicau, dan burung lain yang mulai berkurang populasinya. Adapun prioritas ketiga dipatok Rp 800.000/sarang, yaitu sarang burung endemik dan juga burung berkicau yang terbilang umum.

Skema program adopsi sarang burung yang melibatkan banyak pihak (©KTH Wanapaksi)

Partisipasi Aktif dalam Penyadartahuan

Desa Jatimulyo menjadi desa ekowisata yang aktif dalam kegiatan lingkungan semenjak diberlakukannya Perdes 8/2014. Dengan keasrian desa yang menjadi habitat bagi 90-an jenis kupu-kupu dan 30-an jenis capung, pada tahun 2017 Desa Jatimulyo menjadi lokasi Jambore Capung Indonesia ke-2 yang diprakarsai oleh Indonesia Dragonfly Society, Capung Indonesia, Kopi Sulingan, Kelompok Studi Biolaska UIN Sunan Kalijaga. Tahun berikutnya di 2018, Desa Jatimulyo disepakati sebagai tuan rumah Pertemuan Pengamat Burung Indonesia VIII.

Kampanye ‘desa ramah burung’ turut digaungkan melalui aktivitas pengamatan burung dan penegakan Perdes dengan pemasangan papan informasi dan himbauan pelarangan berburu. Pada 2022, kompetisi pengamatan burung digelar oleh KTH Wanapaksi dan sukarelawan dari Yayasan Kanopi Indonesia, serta menarik perhatian berbagai donatur. Dengan sasaran pesertanya ialah warga sekitar Jatimulyo, kompetisi ini bertujuan untuk mengenalkan cara lain menikmati burung di alam liar daripada di sangkar.

Upaya promosi dan edukasi melalui kompetisi pengamatan burung di Desa Jatimulyo (©KPB Bionic UNY)

Terbaru di akhir tahun 2024 lalu, Desa Jatimulyo ditunjuk menjadi lokasi perhelatan Bionic Birdwatching Competition 2024, lomba pengamatan burung yang diselenggarakan oleh Kelompok Pengamat Burung Bionic UNY. Karena sifatnya terbuka untuk umum, berbagai kalangan ikut serta memeriahkan acara ini, beberapa di antaranya berasal dari mahasiswa yang tergabung di kelompok studinya masing-masing hingga masyarakat lokal yang mantan pemburu, dan Gaia satu-satunya entitas profit turut meramaikan di ajang ini.

Kegiatan-kegiatan tersebut sekaligus mempromosikan daya tarik guna menarik pengunjung baru maupun wisatawan minat khusus, terutama pengamat burung atau ‘birder’, untuk datang ke Desa Jatimulyo. Hal ini juga membuka lapangan pekerjaan baru untuk masyarakat sekitar baik sebagai pemandu, penjaja kuliner, hingga penjual komoditas unggulan seperti kopi dan madu. Dengan begitu, upaya pelestarian burung dan habitatnya tetap selaras dengan pemerataan kesejahteraan masyarakat Jatimulyo melalui penghidupan berkelanjutan.

 

Penulis : Farhan Adyn/Sustainable Commodities Officer Gaia Indonesia

 

 

Referensi

Afif, F., & Aisyianita, R. A. (2023). Ekowisata Di Desa Jatimulyo Kulonprogo, Benang Merah Konservasi Burung Dan Pariwisata. Jurnal Pariwisata, 10(2), 107-116.

Birdlife International. (2025). Data Zone. Retrieved from Species factsheet: https://datazone.birdlife.org/species/search

Lee, J., Chng, S., & Eaton, J. (2016). Conservation Strategy for Southeast Asian Songbirds in Trade. Recommendations from the first Asian Songbird Trade Crisis Summit 2015 held in Jurong Bird Park, Singapore 27–29 September 2015. Retrieved from https://doi.org/10.13140/RG.2.2.12805.96483

Taufiqurrahman, I., Harjanto, S., & Suparno, K. (2019). Birds and coffee: community-led conservation in Jatimulyo village, Yogyakarta, Indonesia. BirdingASIA, 108 – 111.

Taufiqurrahman, I., Yuda, I. P., Untung, M., Atmaja, E. D., & Budi, N. S. (2015). Daftar Burung Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta: Yayasan Kutilang Indonesia.

 

 

Ask Our Expert

Join hands with GAIA, your dedicated partner in Southeast Asia, to make a lasting impact on our planet. With our expert team and local insights, we help you meet your climate, biodiversity, and social goals efficiently and effectively.

Contact Form