Isu perubahan iklim semakin kencang terdengar seiring dengan meningkatnya pemanasan global. Perubahan iklim sendiri dapat diartikan sebagai perubahan pada pola siklus iklim yang terjadi dalam jangka waktu yang panjang, baik itu secara alami maupun akibat dari aktivitas manusia (Kaddo, 2016; Riedy, 2016). Dampak perubahan iklim semakin kian terasa dan mengancam kehidupan di masa depan jika tidak diatasi dengan baik. Peningkatan suhu global lebih dari 4°C memperparah dampak yang ditimbulkan (Winter et al., 2016) di antaranya terjadinya kerusakan ekosistem, perubahan musim, kenaikan suhu, naiknya permukaaan air laut, gelombang panas menyebabkan kekeringan yang berdampak signifikan pada makhluk hidupnya (Andayani & Rosalina, 2022). Hal tersebutlah dimulainya ancaman kepunahan akan keanekaragaman hayati yang mempengaruhi pola penyebaran spesies dalam tiga cara berbeda: mendorong mereka menyebar ke wilayah baru yang sesuai, memaksa mereka beradaptasi dengan kondisi iklim baru, atau mendorong mereka menuju kepunahan (Alves-Ferreira et al., 2022).
Hiruk pikuk perubahan iklim mengabaikan suara kecil yang tak terdengar di tengah derasnya laju kerusakan alam. Salah satunya kelompok amfibi yang paling rentan merasakan dampaknya. Dibalik kulitnya yang halus dengan gerakannya yang tenang, ternyata menyimpan peran penting dalam menjaga keseimbangan alam sekaligus penyampai pesan tentang perubahan iklim.
Mengenal amfibi
Amfibi bagi sebagian besar dari masyarakat lebih mengenalnya dengan sebutan katak atau kodok. Hewan ini hidup di dua alam, seperti arti dari namanya – amphi yang berarti “dua” dan bios yang artinya “hidup” (Maya & Nur, 2022). Amfibi merupakan kelompok purba yang mewakili sisa-sisa hewan bertulang belakang (vertebrata) darat pertama (Wake & Koo, 2021). Satu-satunya vertebrata yang mengalami metamorfosis sempurna yang terdiri dari tiga ordo (bangsa) yaitu anura (katak atau kodok), caudata (salamander), dan gymnophiona (sesilia) (Kusrini, 2020). Secara global, terdapat 8.350 spesies amfibi di dunia dan Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat keanekaragaman amfibi yang sangat tinggi yaitu tercatat sebanyak 482 spesies (Alhadi et al., 2021). Jumlah tersebut tidak membanggakan bagi sebagian besar masyarakat yang memiliki persepsi katak hewan beracun dan menjijikan, sehingga membuat eksistensinya tidak sepopuler dibandingkan dengan hewan lainnya (Kusrini, 2003; Iskandar & Erdelen, 2006).
Berdasarkan Winter et al. (2016) di Eropa setidaknya 20 dari 21 spesies amfibi dan empat dari lima spesies reptil terkena dampak perubahan iklim dan 26 dari 48 spesies amfibi di Amerika Utara juga mengalami hal yang sama. Dari spesies yang terkena dampak 62% adalah amfibi (56 dari 90 spesies) dilaporkan terkena dampak negatif terutama penurunan populasi, penurunan kesesuaian habitat, dan berkurangnya kelangsungan hidup serta luas wilayah jelajah.
Peran penting Amfibi dalam perubahan iklim
Secara ekologis amfibi memiliki peran penting dalam ekosistem. Kehidupannya yang berasosiasi dengan air dan daratan menjadikannya sebagai bioindikator bagi lingkungan (Alhadi et al., 2021). Hal ini tidak terlepas dari morfologi kulitnya yang tipis dan permeabel, membuatnya mudah menyerap air dan polutan sehingga sensitivitasnya tinggi terhadap perubahan kualitas air, suhu, dan kelembaban yang sering kali merupakan indikator awal perubahan iklim (Amphibian Ark, 2022; Bishop et al., 2012). Perkembangbiakan hewan ini juga terjadi di air, maka perubahan kualitas air seperti polusi dan perubahan suhu dapat berdampak besar terhadap kelangsungan hidup telur dan larvanya (Lopez-Alcaide et al., 2011)
Amfibi dapat mempengaruhi struktur ekosistem melalui penggalian tanah dan bioturbasi perairan serta fungsi ekosistem seperti dekomposisi dan siklus nutrisi melalui ekskresi limbah dan secara tidak langsung melalui perubahan predator dalam jaring makanan (Hocking & Babbit, 2014). Hal ini juga yang menjadikannya indikator kesehatan sebuah ekosistem. Amfibi menjadi bagian penting dari rantai makanan dari berbagai predator seperti ular, burung, dan mamalia. Penurunan populasinya dapat berdampak pada predatornya dan mengganggu keseimbangan ekosistem secara keseluruhan. Amfibi juga membantu mengendalikan populasi serangga dengan memakan nyamuk, lalat, dan serangga serta hama lainnya. Pada fase berudu, amfibi mengonsumsi ganggang yang dapat membantu membersihkan air dan mencegah eutrofikasi serta sebagai pengendali populasi nyamuk yang membatasi penyebaran penyakit pada manusia (Alhadi et al., 2021; Varga et al., 2018). Bila kepunahannya cepat terjadi, maka konsekuensi negatif bagi seluruh ekosistem dan rantai makanannya.
Amfibi memiliki nilai ilmiah yang tinggi. Hewan ini telah berevolusi selama jutaan tahun dan dapat membantu umat manusia untuk mempelajari evolusi hewan dan perubahan lingkungan di masa lalu (Wake & Koo, 2018). Adaptasi yang dilakukan dapat berupa perubahan perilaku hingga fisiologis (Bishop et al., 2012; Lopez-Alcaide et al., 2011). Hal tersebut menunjukkan bahwa ketahanan, adaptasi, dan keseimbangan alam adalah tiga hal yang menjadi kunci dalam menghadapi ancaman perubahan iklim. Selain itu penelitian dan edukasi tentang peran penting amfibi dapat meningkatkan kesadaran masyarakat dan mendorong mereka untuk terlibat dalam upaya pelestarian yang selanjutnya secara tidak langsung masyarakat turut andil dalam memitigasi ancaman perubahan iklim.
Pergerakannya yang tidak begitu nampak dan diperhatikan ibarat suara yang senyap, tetapi keberadaannya memiliki peran yang penting dalam keberlanjutan peradaban manusia. Dengan peran yang sangat kompleks tersebut, kehadiran amfibi menjadi pengingat bahwa masih ada waktu untuk mengatasi perubahan iklim. Perubahan iklim itu mutlak dan tanggung jawab bersama dalam upaya memperlambat lajunya (Andayani & Rosalina, 2022). Karenanya, mempelajari dunia amfibi secara tidak langsung memberi pemahaman akan dampak dari perubahan iklim dan mengembangkannya menjadi strategi adaptasi yang efektif. Sehingga, menjaga kelestarian amfibi sama juga halnya dengan melindungi Bumi untuk masa depan yang berkelanjutan.
Referensi
Alhadi F, Kaprawi F, Hamidy A, dan Kirschey T. 2021. Panduan Bergambar dan Identifikasi Amfibi Pulau Jawa. Jakarta: Perkumpulan Amfibi Reptil Sumatra dan NABU.
Alves-Ferreira G, Talora DC, Solé M, Cervantes-López MJ, and Heming NM. 2022. Unraveling global impacts of climate change on amphibians distributions: A life-history and biogeographic-based approach. Front. Ecol. Evol. 10: 987237. DOI: 10.3389/fevo.2022.987237.
Amphibian Ark. 2022. Amphibians as indicators of environmental health and their contribution to humanity. https://www.amphibianark.org/the-crisis/amphibians-as-indicators/ .
Andayani ARD dan Rosalina E. 2022. Mengenal Perubahan Iklim. https://irid.or.id/wp-content/uploads/2022/08/FINAL-Mengenal-Perubahan-Iklim.pdf. Diakses tanggal 26 Juni 2024.
Bishop PJ, Angulo A, Lewis JP, Moore RD, Moreno GBR et J. 2012. The Amphibian Extinction Crisis – what will it take to put the action into the Amphibian Conservation Action Plan?. SAPIENS 5 (2): 97 – 111.
Hocking DJ and Babbit KJ. 2014. Amphibian contributions to ecosystem services. Herpetological Conservation and Biology 9 (1): 1 – 17.
Iskandar DT dan Erdelen WR. 2006. Conservation of amphibians and reptiles in Indonesia: issues and problems. Amphib. Reptile Conserv. 4(1): 60-93.
Kaddo JR. 2016. “Climate Change: Causes, Effects, and Solutions”. A with Honors Projects. 164. http://spark.parkland.edu/ah/164.
Kusrini MD. 2003. Predicting the impact of the frog leg trade in Indonesia: An ecological view of the indonesian frog leg trade, emphasizing Javanese edible frog species. Dalam: MD Kusrini, A Mardiastuti dan T Harvey 2003 Konservasi Amfibi dan Reptil di Indonesia. Bogor. Fakultas Kehutanan IPB. Hal. 27-44.
Kusrini MD. 2020. Amfibi dan Reptil Sumatera Selatan: Areal Sembilang-Dangku dan Sekitarnya. Bogor: Pustaka Media Konservasi.
Lopez-Alcaide S and Macip-Rios R. 2011. Effects of Climate Change in Amphibians and Reptiles. In: Biodiversity in a Changing Planet. DOI:10.5772/24663.
Maya S dan Nur RA. 2021. Zoologi Vertebrata. Bandung: Widina Bhakti Persada.
Riedy C. 2016. Climate Change. In: Blackwell Encyclopedia of Sociology. George Ritzer (Ed). DOI:10.1002/9781405165518.wbeos0737
Varga JFA, Bui-Marinos MP, Katzenback BA. 2018. Frog Skin Innate Immune Defences: Sensing and Surviving Pathogens. Front Immunol 9: 3128. DOI: 10.3389/fimmu.2018.03128.
Winter M, Fiedler W, Hochachka WM, Koehncke A, Meiri S, and De la Riva I. 2016. Patterns and biases in climate change research on amphibians and reptiles: a systematic review. https://doi.org/10.1098/rsos.160158.
Teks dan Foto : Fajar Kaprawi/Biodiversity Specialist Gaia Indonesia